Cerita seks terbaru kontrakan berdarah – “Dek, ayo buruan… sebelum aku kesiangan…” kata mas Andri, suamiku.
Dia berdiri di samping meja makan yang telah bersih dari peralatan makan, sambil mengurut perlahan batang penisnya.
“Iya… aku datang…dasar tikus hutan ….” Candaku sambil tertawa.
Aku
letakkan piring dan gelas kotor di dapur, lalu aku kembali kearah
ruang makan. Aku lepas cd yang membungkus vaginaku dan aku lempar ke
atas tumpukan cucian kotorku. Cd itu adalah cd terakhirku, karena semua
cd yang aku miliki belum sempat aku cuci. Sekarang, satu-satunya baju
yang masih menempel di tubuhku adalah daster batik berbelahan dada
rendah yang menggantung sepanjang separuh pahaku. Adalah suatu
rutinitas, hampir setiap pagi aku harus melayani nafsu suamiku yang
menggebu-gebu. Nafsu seks yang seolah-olah tak pernah ada
habis-habisnya. Sepertinya, yang ada diotaknya ketika ada aku, hanyalah
tentang seks…ngentot…make love…ngewe. Hanya itu saja. Aku, sebagai
istrinya hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala saja
melihat tingkat yang aku anggap lucu ini. Aku mendekat, sambil
menurunkan tali pundak daster miniku. Daster itu meluncur turun dengan
cepat, dan langsung menampakkan kepolosan tubuh putihku. Putingku telah
ereksi, dan vaginaku juga mulai basah. Dikecupnya kening, pipi, hidung,
leher dan bibirku. Karena aku mudah sekali terbakar nafsu birahi, tak
perlu menunggu terlalu lama untuk pemanasan. Langsung saja lidah kami
bergulat. Tangan kiri mas Andri mulai memelintir dan meremas putting
payudaraku, dan tangan kanannya merogoh vaginaku dari depan. Aku pun tak
mau tinggal diam, aku raih batang penisnya yang sudah menegang dengan
kedua tanganku dan aku kocok penis mas Andri, naik turun dengan cepat.
“Memek kamu cepet sekali basah dek… Kamu dah sange ya sayang?” tanyanya sambil tersenyum.
“Ya
iyalah…. Siapa coba yang ga sange klo jari mas mengobok-obok memek
adek kayak gitu..” Mas Andri tersenyum, ia menatap wajahku yang sudah
mulai memerah sayu.
Mas Andri mendadak menghentikan gulat lidahnya,
dan mengarahkan mulutnya ke payudaraku. HAP. Dia langsung mencaplok dada
kananku. Disedotnya kuat-kuat, lidahnya menari lincah diatas putingku.
Geli. Tak lama, mulutnya pun pindah ke payudaraku yang kiri. HOP.
“Annnnggg…” kali ini giginya ikut bermain, dengan menggigit perlahan
puttingku yang mulai mengeras.
“Owhh… sssshh” Aku hanya bisa mendesis menerima semua perlakuannya.
“Mas, sekarang ya….” Bisikku lirih. “Aku sudah tak tahan”. Mas Andri mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tubuh
telanjangku dibalik menghadap ke arah meja makan dan ia mendekap tubuh
mungilku dari belakang. Walau sudah berubah posisi, kedua tangannya
masih saja menggerayangi tubuhku. Tangan kiri meremas perlahan
payudaraku, dan tangan kanan mencolokkan beberapa jemari gemuknya ke
dalam vaginaku. Aku merasakan penisnya berada tepat di belahan bokongku,
digesek-gesekkannya penis itu dengan penuh perasaan.
“Mas.. ayo…. Dimasukkin … Adek udah nggak kuat lagi….” rengekku memelas.
Mengerti akan hasratku yang tak bisa aku tahan lagi, mas Andri lalu mendorong pundakku ke depan dan bertumpu pada meja makan.
“Lebarin kakimu dikit dek…. Nah gitu”
Aku
terperanjat ketika merasakan, tangan kanan suamiku mencoblos perlahan
vaginaku dari arah pantat. “Pemanasan…” katanya menenangkanku.
Disodok-sodokkan jemari gemuknya beberapa kali di vaginaku. Cairanku
membanjir. Dengan perlahan, mas Andri mulai mengarahkan kepala penisnya
kearah vaginaku. Digesek-gesekkan batang penis itu diluar bibir
kemaluanku. Ia berusaha melumasi seluruh batang penisnya dengan cairan
vaginaku. Mas Andri mengambil ancang-ancang. Kurasakan kepala penisnya
di antara bulatan bokongku. Perlahan ia mulai mendorong batang penisnya
dan mulai menyeruak masuk. Benda itu begitu hangat, kenyal namun keras.
Sambil tetap meremas-remas kedua dadaku dengan satu tangan, mas Andri
mendorong sedikit demi sedikit kepala penisnya.
“CLEP” kepala penisnya telah masuk.
“Uhh…”
aku mendesah sambil memejamkan mataku rapat-rapat. Walau aku sudah
terbiasa dengan ukuran penis mas Andri, namun tetap saja, ada sedikit
rasa nyeri yang timbul.
Mas Andri menggeser-geser posisi tubuhku,
mencoba membuatnya menjadi lebih mantap ketika kami bersetubuh.
Perlahan, batang penisnya mulai ia dorong masuk ke vaginaku. Aku
merasakan denyut-denyut pelan yang membuat organ kewanitaanku semakin
membanjir basah. Sedikit demi sedikit, sampai batang sepanjang 16 cm itu
benar-benar hilang ditelan organ kewanitaanku.
“Mmm…mas….” Suaraku gemetar menahan nafsuku.
“Kenapa dek…? Enak…?” mas Andri mengecup punggungku ketika melihat aku mengangguk-anggukkan kepalaku.
Saking nafsunya, cairan vaginaku menjadi tak terbendung, karena aku merasakannya mulai turun, mengalir ke arah pahaku.
“CLEP…
CLEP… CLEP… “ mas Andri mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur,
mengaduk dan menusukkan batang penisnya dalam-dalam, semakin lama
semakin cepat.
“PLAK… PLAK… PLAK…” Suara tubuh kami ketika saling bertabrakan.
“SREEK…SREEK…SREEK…”
Meja makan yang aku buat sebagai tumpuan tubuhku juga perlahan mulai
bergerak, tiap kali pinggul mas Andri menabrak pantatku. Kaki mejanya
berderit-derit, tergeser oleh gerakan liar kami berdua. “DUG… DUG…
DUG…” Suara bibir meja ketika menabrak tembok dan desahan suara kami
memenuhi ruang makan yang sempit ini.
“Enak dek…?” tanyanya dari
arah punggungku sambil terus meremas payudaraku. Saking enaknya, aku
hanya bisa menggigit bibir bawahku, tersenyum mendesis sambil
mengangguk-anggukan kepalaku. Mulut mas Andri tak henti-hentinya
mengucapkan kata “Aku sayang kamu dek” tiap kali ia memompa penisnya
diliang vaginaku. Terkadang ia mengecup dan menjilat punggungku. Aku
hanya bisa menundukkan kepala sambil melenguh keenakan, merasakan
tusukan-tusukan tajam penis mas Andri. “Pagi hari yang berisik… “
pikirku tiap kali kami bersetubuh.
Karena memang benar, kami adalah
pasangan yang tidak bisa diam, selalu bercinta tiap kali ada
kesempatan. Tak peduli akan waktu, tempat ataupun situasi. Oleh
karenanya aku panggil suamiku tikus hutan, karena nafsunya mirip dengan
aktivitas makhluk kecil itu, hanya bercinta dengan pasangannya sampai
dia mati. Gelombang kenikmatan itupun perlahan datang. Jantungku
bercetak semakin cepat, nafasku memberat, siap menyambut orgasme
pertamaku di pagi hari ini.
“Shhhh… Aku mau keluar mas…ayo… tusuk memek adek lebih dalam…” kataku menyemangatinya.
Tanpa
menunggu perintahku untuk yang kedua kalinya, mas Andri semakin
mempercepat sodokannya. Tubuhku terhentak-hentak dengan keras, tiap kali
menerima sodokan penis mas Andri. Penisnya terasa begitu cepat, keluar
masuk dengan ritme yang semakin cepat. Meja makan tempat aku
menyandarkan tubuhku pun sepertinya ikut merasakan dorongan brutal mas
Andri, berderit dengan keras dan menabrak tembok seiring desahan
kenikmatan kami berdua.
“Shhh…ayo mas… aku sudah dekat.. aku mau
keluar …. Ssshhhh…” erangku kepada suamiku. Dengan tangan kiri yang
masih menopang badanku, aku pegang pantatnya dengan tangan kanan. Aku
gerak-gerakan pantat semok itu kearahku, berharap mas Andri semakin
mempercepat goyangannya.
“Mas…ayo…. sodok aku dengan keras… tusuk aku dengan tititmu… aku mau keluar mas…”
Di
tengah-tengah pendakian kami ke puncak gunung kenikmatan. Tiba-tiba
mas Andri menghentikan sodokannya. Dia terdiam, menusukkan penisnya
dalam-dalam ke arah vaginaku, dan….
“Aaahhhhhhkkkkk……… ahhhh… ahhhh…
“ mas Andri berteriak lirih. Gumpalan cairan hangat langsung memenuhi
rongga rahimku. Tak begitu banyak, namun cukup membuat liang rahimku
agak sedikit penuh. Mas Andri mendorong tubuh gemuknya ke arahku dengan
brutal tiap kali penisnya memuntahkan lahar panasnya. Sampai aku merasa
sakit pada bagian paha depanku yang terkena bibir meja.
Enam kali
sodokan keras aku terima pada vaginaku ketika suamiku ejakulasi, sebelum
akhirnya ia merubuhkan tubuhnya ke arahku. Berat sekali. Nafasnya
tersengal-sengal. “Aku sayang kamu dek…” ucapnya sambil mengecup bagian
belakang leherku. “Iya.. Aku juga sayang kamu mas” jawabku lirih.
Sebenarnya
ada rasa kesal karena aku masih belum mendapatkan orgasmeku. Sekali
lagi, mas Andri gagal memberiku kenikmatan yang telah lama aku inginkan.
Tidak sampai 5 menit dia sudah terpuaskan, mas Andri selalu saja
begitu, terlalu cepat ejakulasi.
“Mas… aku masih pingin… ayo ngewe lagi… ayo mas…” kataku.
“Aduh… mas dah terlambat dek… ntar malem ya kita sambung lagi…” elaknya.
Selalu
saja, kata-kata itu yang menjadi alesan. Mas Andri memeluk tubuh
telanjangku sambil tersenyum penuh kepuasan. Sebagai istri yang harus
selalu patuh, aku harus menyembunyikan rasa ketidakpuasanku. Aku harus
bisa ikut tersenyum melihat kepuasan yang terpancar dari wajahnya, dan
membiarkan kehausan nafsuku hilang dengan sendirinya. “PLOP” Aku masih
merasakan kedutan pelan di dinding vaginaku ketika batang penis mas
Andri yang telah lemas, jatuh keluar dengan sendirinya. Sekarang penis
itu menggelatung tak berdaya di luar bibir vaginaku. Meneteskan lendir
kenikmatan kami berdua di belakang paha dan betisku.
“Dek, aku
berangkat dulu, khawatir ketinggalan angkutan… dah siang nie” kata mas
Andri sambil mengangkat badan lebarnya dari punggungku.
Dia menepuk
pantat semokku dan balikkan badanku yang masih tengkurap diatas meja
makan. Aku sekarang dalam posisi telentang, menatap langit-langit rumah
kontrakanku. Dengan kaki yang menjuntai di tepi meja makan. Mas Andri
tiba-tiba mencium vaginaku dan menyeruput cairan yang keluar dari
vaginaku.
“Hayo… kamu lupa ya dek?” tanyanya sambil tertawa.
“Hahaha.. geli mas… geli…iya iya…adek inget….” Jawabku berusaha menjauhkan mulutnya dari selangkanganku.
Memang sudah menjadi kebiasaan, jika setelah kami bersetubuh, aku selalu membersihkan seluruh batang penisnya dengan mulutku.
Aku
segera bangun, turun dari meja makan dan langsung berjongkok di depan
selangkangan suamiku. Akt raih batang penisnya yang menggelantung lemas
itu, dan aku jilat perlahan. Kuhirup dalam-dalam aroma kewanitaanku
yang bercampur dengan spermanya. Sejak pertama kali kami bersetubuh,
aku memang suka sekali meminum sperma, teksturnya mirip dawet, minuman
khas dari pulau jawa yang terbuat dari campuran gula merah dan santan
kelapa, terlebih lagi aromanya, mirip aroma daun pandan. Kubuka mulutku
lebar-lebar, lalu aku masukkan seluruh batang penisnya. Aku kecap,
hisap dan urut batang penis lemasnya dengan mulutku. Berharap penis itu
bisa tegang kembali. Namun setelah beberapa menit aku oral, sama saja,
penis itu tetap menggelayut lemas.
“Nah…..Dah bersih mas…” kataku. “Dah… sana berangkat kerja…”
Mas
Andri menyuruhku berdiri, dan sekali lagi, ia kecup keningku. “Kamu
yakin? Nggak mau menunggu besok Minggu buat mengerjakan semua pekerjaan
rumah ini…? Kamu mau mengerjakannya semua ini sendirian? Jangan terlalu
capek ya istriku sayang” tanyanya begitu mengkhawatirkanku.
“Iye
baweeeeel… aku yakin… dah ah… jangan menganggap aku cewek manja seperti
dulu… aku dah berubah… sana buruan berangkat” kataku pada suamiku
tercinta. Dengan tubuh telanjang bulat dan vagina yang masih meneteskan
cairan kenikmatan kami berdua, lalu aku antar mas Andri ke pintu depan
sambil bergelayutan manja dipundaknya.
“Dah ah… sana buruan pakai dasternya… ntar ada orang yang ngliat loh…” kata suamiku.
“Ah.. kagak ada yang bakalan ngeliat mas… khan rumah kita paling tertutup…”
“Berani yaaaa……. “ Kata mas Andri sambil mencubit pantatku..
“He he he… Iyeeeee….”
Diciumnya
kening dan bibirku tuk terakhir kali, dan tak lupa salam berangkat
kerja andalannya. Meremas kedua belah dadaku, memelukku dari depan dan
menepuk keras-keras kedua bongkahan pantat semokku.
“Salam sayang buat mimi imutku… jaga baik-baik ya dek” katanya sambil tersenyum manja.
“Jaga juga dedenya… jangan diapa-apain sampai ntar malam kamu pulang ya mas” sambungku.
Mimi
dan Dede adalah panggilan sayang kepada alat kelamin kami
masing-masing. Mas Andri melambaikan tangan, dan melangkah menjauh
meninggalkan aku sendirian di rumah kontrakan baruku ini.
Mas Andri,
suamiku, berumur 32 tahun, berpostur agak gemuk, 170cm/90kg, dan
berkulit putih mirip denganku. Dia baru saja diangkat jabatan menjadi
seorang pengawas lapangan disebuah Perusahaan Pengeboran Minyak
Internasional. Mas Andri adalah seseorang yang bijaksana dalam
pengambilan keputusan, pandai dan penuh dengan perhitungan.
“Bukannya
pelit dek… tapi khan lumayan… kita bisa menghemat uang jutaan rupiah
perbulan loh kalo tinggal di rumah ini… daripada aku harus menyewa rumah
mewah dekat kantor… toh beda jaraknya cuma 1 jam…” itulah kalimat yang
selalu di ulang-ulang ketika aku sedikit ngambek karena keputusannya
mengambil rumah yang “jauh dari peradaban ini”.
Rumah kontrakanku
adalah rumah petak, yang terbagi menjadi beberapa bagian, teras, ruang
tamu, ruang tidur, dapur, kamar mandi dan halaman belakang untuk cuci
dan jemur. Aku dan suamiku kebagian rumah paling ujung. Rumah yang
paling jauh dari pintu masuk komplek kontrakan, namun memiliki ukuran
paling besar diantara rumah kontrakan yang lain.
“Hari yang cerah untuk memulai aktifitas” kataku dalam hati.
Aku
ambil daster kecilku yang teronggok di kaki meja makan lalu aku mulai
mengenakannya lagi melalui atas kepalaku. Malas sekali rasanya ketika
aku mulai mengenakan dasterku. Sepertinya sangat nyaman jika bisa hidup
seperti kaum nudis yang tak perlu repot-repot menggunakan selembar
bajupun ketika beraktifitas. Kubawa piring dan gelas kotor ke dapur,
aku letakkan di dalam bak pencucian. Aku pandang tumpukan cucian kotor
yang sudah lama teronggok dan mulai mengeluarkan bau tak sedap di sudut
kamar mandi. “Sabtu ini akan menjadi hari yang melelahkan. Ayo Liani,
kamu pasti sanggup menjalani ini semua” aku menyemangati diriku sendiri
dan mulai mengerjakan pekerjaan rumahku itu.
Aku harus bisa menjadi
istri yang bisa diandalkan oleh suamiku. Menyapu, mengepel dan mencuci
piring bisa aku lakukan dengan cepat. Namun ketika aku akan memulai
mencuci tumpukan baju kotor, langsung terbayang betapa lelahnya tubuhku
nanti malam. Ternyata menyeret bak cucian basah itu begitu susah,
berat, dan licin. Perlu tenaga ekstra untuk bisa memindahkannya ke dari
kamar mandi ke halaman belakang.
“Lagi mau nyuci mbak?” Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara seorang pria. Celingukan aku mencari asal suara itu.
“Banyak juga cuciannya mbak… dah berapa minggu tuh baju-baju nggak dicuci?” tambahnya lagi.
Ternyata
suara itu berasal dari penghuni rumah kontrakan di samping tempat aku
tinggal. Mas Manto, begitu tetanggaku biasa memanggilnya, adalah
seorang satpam yang bekerja di perumahan dekat komplek kontrakan tempat
aku tinggal. Selama aku tinggal disini, baru pertama kali ini aku
melihat seperti apa bentuk suami mbak Narti sebenarnya. Mas Manto
berumur sekitar 40 tahunan. Posturnya mirip dengan suamiku namun agak
kurus 170cm/60kg dengan kumis tipis yang dipotong rapi diatas bibir
tebalnya. Kulitnya coklat kehitaman dengan rambut kriting pendek.
Sedangkan istrinya, Mbak narti, berusia 35 tahunan, berperawakan gemuk
dengan payudara yang meluap-luap, khas badan ibu-ibu, adalah seorang
pelayan toko yang juga bekerja pasar dekat komplek rumah kontrakan kami.
“Iya…” jawabku sekenanya. “Dah hampir 2 minggu nie belum diapa-apain….” tambahku lagi.
Sebenarnya
aku sudah mengenal siapa mas Manto, karena hampir setiap hari aku
melihatnya berangkat kerja, tapi selama aku dan suamiku tinggal di
rumah kontrakan ini, belum pernah sekalipun aku bercakap-cakap. Hanya
kenal sebatas sapa dan cerita saja.
“Saya Manto mbak…suami si Narti..” katanya lagi sambil menjulurkan tangan.
“Mmm… Nama saya Liani… “ jawabku sambil menyalami tangannya.
Langsung
saja tubuhku merinding begitu menyentuh tangan mas Manto. Tangan itu
begitu dingin, hitam, dan keriput, sangat kontras dengan tanganku,
putih, mulus. Entah kenapa, begitu aku melihat wajah dan postur
tubuhnya, aku langsung terbayang akan cerita-cerita pemerkosaan sadis
yang menimpa kepada para perantau di tanah orang. Apalagi saat itu aku
hanya mengenakan daster pendek tanpa baju dalam sama sekali. Memamerkan
kaki panjang dan belahan dadaku.“Mas Andri kerja mbak?” tanyanya lagi,
membuyarkan lamunanku.
“I… Iya… baru saja berangkat” “Oooowwwh….. saya permisi ya mbak… gerah habis mencuci…mau mandi dulu” jawabnya sambil tersenyum.
“Iya….silakan” kataku sambil melihat deretan cucian mas Manto yang masih meneteskan air sabun.
“Sopan juga dia…” ternyata aku salah pikir terhadap mas Manto.
Walau
hanya dari perkenalan singkat tadi, aku merasa kalau mas Manto tak
seperti orang-orang kebanyakan. Sopan, tak seperti orang yang
berpandangan jahil terhadap wanita berbusana seksi sepertiku barusan.
Aku berpostur badan sedang dan terbilang langsing, 165cm/45kg, berkulit
putih dengan ukuran buah dada yang cukup besar. Yang membedakan aku
dengan wanita lain adalah pinggangku sangat kecil dan kakiku agak lebih
panjang dari kebanyakan teman-temanku. Mata bulat lebar, bibir merah
dan rambut panjang hitamkulah yang selalu aku banggakan. Sebenarnya aku
kurang begitu suka dengan baju seksi, tapi aku lebih memilih baju yang
berukuran kecil, karena merasa nyaman aja ketika digunakan untuk
beraktifitas.
“PRAK….” Bak cucianku pecah, ketika aku mencoba menggesernya kehalaman belakang.
Pecah
karena tak kuat menahan beban rendaman baju kotor kami. Air cucian
kotorpun langsung keluar dari sela-sela bak cuci pecahku, menggenang,
disertai bau apek yang cukup menyengat.
“Sialan… belum juga mencuci…” emosiku langsung meninggi…” sabar Liani… sabar…”
Aku diam sejenak, memikirkan apa yang harus aku lakukan.
“Daripada beli, mungkin lebih baik aku pinjam saja sebentar.” Pikirku
“Mas
Manto..” Walau pintu halaman belakang rumahnya terbuka begitu saja,
tapi aku berusaha tuk sopan. Aku ketuk pintu rumahnya beberapa kali.
Mas Manto
Tak ada jawaban.
“Mas Manto..” aku panggil namanya lagi dengan suara lebih lantang.
“Iya
sebentar…” jawabnya dari dalam rumah. “maaf tadi saya masih mandi… ada
apa ya mbak??” tanyanya sambil mengikatkan handuk kecil berwarna hijau
yang sudah lusuh dan sedikit berlubang di pinggangnya yang ramping.
Badannya basah kuyup, dengan rambut yang juga masih meneteskan air..
“Ada apa ya mbak? Kok kayaknya kebingungan gitu?” tanyanya.
Aku
tak menjawab, aku masih terkesima melihat postur tubuhnya, badannya
begitu hitam, kekar, dengan bongkahan dada dan lengan yang menonjol
disana-sini.
“Mbak?” tanyanya lagi. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Eeh…maaf…anu….. bak cuci aku pecah” kataku terbata-bata. “Apa boleh aku pinjem bak cucinya? Ntar begitu sel………..”
“Boleh-boleh… bentar ya saya ambilin dulu” potongnya sebelum aku menyelesaikan kalimat.
Mas
Manto buru-buru masuk, dan mengambil bak mandi yang tergeletak di
sudut lantai kamar mandinya. Ketika dia membalikkan badan, kembali aku
terkesima melihat otot-otot kekar badannya. Punggungnya lebar dan pantat
yang hanya ditutupi handuk merah lusuh itu begitu semok. Aku sedikit
tertawa ketika melihat kaki mas Manto. Pahanya besar tapi betisnya
kecil. Mirip badan tokoh film kartun yang memang hanya badan bagian
atasnya saja yang besar, namun bagian bawahnya kecil. Dan dari disinilah
cerita itu dimulai. Ketika dia membungkuk tuk mengambil bak cuci
miliknya, bagian belakang handuk itu otomatis meninggi, mengikuti gerak
badannya.
Dan dari sela-sela paha belakang mas Manto, aku melihat
barang yang tak seharusnya tak liat. Hitam, panjang menjuntai, dengan
ujung besar berwarna merah kehitaman. DEG….Detak jantungku terasa
berhenti sejenak. Langsung saja aku tinggalkan pintu rumahnya dan masuk
kedalam rumahku. Aku tutup pintu dapur, dan langsung saja aku duduk
terjatuh. Lututku lemas dan dadaku berdebar-debar mengingat hal yang
baru saja aku lihat. Aku melihat barang yang seharusnya tidak boleh aku
lihat, barang yang menjadi simbol kejantanan dan kebanggaan kaum pria.
Ya, barang itu biasa disebut penis, titit, atau kontol. Walau sekilas,
seumur-umur, baru saja aku melihat barang yang bukan milik suami aku
sendiri. Walau sekilas, tapi aku bisa membayangkan bagaimana bentuk
keseluruhan dari barang milik mas Manto itu. Hitam, besar, dengan
urat-urat yang mengelilingi sekujur batangnya, berkepala merah kehitaman
dengan mulut kemaluan yang lebar menganga, bau amis asam selangkangan
yang menusuk hidung dan rambut kemaluan yang lebat.
“Mbak… loh… kemana orangnya….?” Suaranya terdengar pelan dari sebelah rumah.
“Mbak…ini
bak cucinya……” panggilnya dari samping rumahku. Mas Manto pun akhirnya
mengantarkan bak cuci miliknya ke halaman rumahku. Karena melihat aku
yang tak langsung keluar, mas Manto mendekat kearah pintu dapur,
mengintip kedalam dari jendela dapur, dan mengetuknya perlahan.
“Mbak Liani… ini bak cucinya…” panggilnya.
Andai
saja mas Manto agak menunduk dan melihat kebawah, mungkin saja ia bisa
melihatku yang meringkuk di balik pintu dapur rumahku. Meringkuk
menahan malu yang seharusnya tak aku rasakan. toh yang terlihat adalah
bukan aurat tubuhku. Detak jantungku masih berdetak begitu kencangnya
sampai aku sama sekali tak berani untuk bergerak. Susah rasanya aku
berdiri dengan kedua kakiku. Lemas, tak bertenaga. Dengan gerak super
pelan, aku mencoba berdiri, memasang telinga, untuk mendengarkan,
mungkin saja ia masih ada di dekat jendela. Tenagaku perlahan pulih,
setelah melihatnya berdiri tak jauh dari pintu dapur. Membelakangiku
sambil berkacak pinggang. Dari balik korden tipis jendela dapur, aku
amati gerak-geriknya. Dengan muka kebingungan, mas Manto hanya bisa
celingukan ke arah rumah kontrakanku lalu mengamati banyaknya cucian
kotor yang terhampar di depannya. Karena mungkin merasa iba, diapun
membantu memindahkan cucian kotor yang ada di bak cuciku yang telah
pecah, ke bak cuci miliknya. Sekali lagi, ketika mas Manto memindahkan
baju-baju kotorku, aku pun kembali melihat barang hitam miliknya.
Handuk kecilnya naik turun. Memperlihatkan barang yang ada dibaliknya
setiap kali ia membungkukkan badan untuk memindahkan cucian kotorku.
Ketika sedang dalam posisi membungkukkan badan tuk mengambil
baju-bajuku, tiba-tiba mas Manto terdiam. Masih dalam posisi
menungging. Lama sekali. Dan selama itu pula aku menatap tajam ke arah
benda yang bergelatungan di balik handuk kecilnya. Bergoyang goyang
seiring gerakan pantat mas Manto.
“Apa yang dia lakukan” tanyaku dalam hati.
Ternyata
hal yang membuatnya terdiam adalah…. Tumpukan baju dalam kotor
milikku. Iya, benar sekali, mas Manto mengamati baju dalam
kotorku.Tiba-tiba mas Manto berdiri, membalikkan badannya dan melihat
ke arah rumahku, matanya celingkuan mencari dimana aku gerangan. Dia
berpindah posisi, memutari bak cucian kotorku, mengawasi segala gerakan
dari dalam rumah. Matanya sangat tajam, mengamati setiap sudut rumahku
dengan seksama. Namun aku yakin dia tak bisa mengetahui posisiku,
karena terhalang oleh korden tipis jendela dapurku. Karena menurutnya
aman, diapun membungkukkan badannya kembali dan dengan tangan kirinya,
dia mengambil salah satu cd kotorku. Cd putih dengan pinggiran berenda.
Dengan mata yang masih celingukan penuh rasa was-was, dia mengamati
dalam-dalam cd kotorku itu. Diamati bercak lendir lengket berwarna
putih yang menepel di bagian depan cdku. Dan dengan jemari tangan
kanannya, disentuhlah bercak lendir itu, dikorek-korek. Lalu, apa yang
sama sekali tak pernah aku bayangkan terjadi.
Mas Manto, tanpa rasa
jijik sedikitpun, menjilat jemari tangan bekas mengkorek cd kotorku.
Karena kurang puas, dia menghirup, menjilat dan mengecapnya,
seolah-olah itu adalah makanan paling enak sedunia. Gila. Dia lakukan
itu semua dengan tanpa rasa jijik sedikitpun. Tiba tiba, perlahan namun
pasti, ada sesuatu yang bergerak dari dalam handuk kecilnya. Penisnya
mulai ereksi. Naik, sedikit demi sedikit, semakin menggembung,
mengembung dan mengeras. Ereksi dengan diiringi kedutan denyut nadi
yang ada di batang penisnya. Handuk kecilnya tersingkap, terdorong ke
atas, oleh batang kejantanan seseorang yang sama sekali belum aku kenal
dekat. Penis hitam yang sempurna, keras, berurat, dengan ujung
berwarna merah pekat.
Buah zakarnya
mengelantung pasrah, ukuran zakarnya pun tak kalah hebohnya, sebesar
jeruk nipis. Penis itu terlihat begitu gagahnya, mulai meninggi keatas
disertai dengan kedutan yang berirama. Naik, naik, naik dan terus naik.
Berkedut naik, sampai melewati pusarnya. Sekarang yang ia lakukan
sungguh nekat. Sama sekali tak khawatir akan adanya orang yang melihat.
Dia berdiri di halaman belakang rumahku, menghadap tepat ke arahku
dengan penis yang tegak mengacung sambil menjilat dan mengecap cd
kotorku dengan rakus. Merasa tak cukup hanya mengecap satu cd kotorku,
dengan tangan kanannya yang masih bebas, diapun kembali mengambil cd
kotorku. Kali ini yang berwarna hijau muda dengan gambar bunga bunga di
bagian vagina. Sekarang di kedua tangannya, ia memegang cd kotorku.
Tapi
kali ini ada yang berbeda. Cd hijau yang ada di tangan kanannya tak
hanya ia cium dan jilat saja. Melainkan……ia pakai sebagai sarana
masturbasinya. Ia lilitkan cd hijauku ke batang penisnya dan ia mulai
menggerakkan tangan kanannya maju mundur. Makin lama makin cepat, main
cepat dan makin cepat. Dia mengocokkan penis yang terbungkus cd hijauku
dengan kecepatan tinggi. Dengan sangat bernafsu dan brutal. Melihat
tingkah laku mas Manto, detak jantungku pun semakin berdebar-debar tak
karuan. Tubuhku menghangat, nafasku memberat, putingku mengeras dan yang
paling tak aku sadari, kemaluanku mulai membasah. Secara reflek, aku
sentuh cd yang aku pakai, dan aku raba belahan bibir kemaluanku. Aku
basah, aku horny, aku terhanyut akan tingkah laku kurang wajar yang
telah dipertontonkan oleh mas Manto. Bagian depan cdku terasa sangat
hangat dan basah oleh cairan kewanitaanku. Astaga, aku benar-benar
dibuatnya mabuk kepayang. Mas Manto, seseorang yang sama sekali belum
aku kenal dengan dekat, berani berbuat hal yang begitu nekat. Begitu
gila, yang sama sekali tak pernah aku bayangkan.
Dengan tanpa rasa
malu sama sekali ia masturbasi dengan menggunakan cd kotorku di halaman
belakang rumahku. Badan kekar berotot, kulit hitam yang basah oleh air
bekasnya mandi, ditambah sinar matahari yang menerangi halaman
belakangku, membuat apa yang ia lakukan terlihat begitu seksi. Entah
kenapa, tiba-tiba aku merasakan perasan yang berbeda kepadanya. Perasan
yang tak bisa aku lukiskan dengan kata-kata. Hanya ada rasa penasaran
dan ingin tahu yang begitu menggebu. Mas Manto semakin mempercepat
kocokannya. Badannya membungkuk dan membusur. Otot-otot tangan dan
lehernya mengejang. Ia merem melek, pupil matanya tak terlihat, hanya
putih. Ia terlihat begitu menikmati semua yang sedang ia lakukan.
Melihatnya begitu menikmati akan apa yang sedang ia perbuat, aku jadi
ikut merasakan kenikmatan. Tiba-tiba, muncul perasaan aneh dari dalam
diriku. Perasaan nakal, binal, liarku sepertinya muncul. Ingin rasanya
aku membuka pintu dapurku dan mendekap tubuhnya, mencium bibirnya dan
meraih penisnya. Ingin rasanya aku membantu menuntaskan semua hasrat
nafsunya. Menjilat batang penis yang begitu besar, hitam, panjang. Ingin
sekali aku merasakan tusukan dan sodokan penis dahsyatnya di liang
vaginaku. Dan… Aku ingin mas Manto menumpahkan semua spermanya di dalam
rahimku.
“Liani…..mbak Liani….terima persembahanku untukmu….. mbak Lianiku…..” bisiknya lirih sembari dia mempercepat kocokannya.
“Mbak Lianiku….?” Tanyaku dalam hati. Heran.
“Ooooooohhhhh…..mbak Liani!!!”
Mas
Manto tiba-tiba menghentikan kocokan tangan kanannya dan dengan cd di
tangan kiri, ia berusaha menampung semua tumpahan cairan kenikmatannya.
“Crut… crut… crut… crut…”
Mas
Manto orgasme. 8 tembakan sperma menabrak cd putih di tangan kirinya.
Semburan benih-benih kejantanan seorang lelaki menyemprot keluar dari
mulut penisnya yang lebar. Begitu banyak. Sampai-sampai cd putihku yang
ia gunakan untuk menampung tumpahan cairan nafsu mas Manto, tak mampu
membendung itu semua. Cairan itu merembes keluar dari cd hijauku yang
ia gunakan untuk melilit penisnya, dan menetes jatuh ke atas cucian
kotorku. Sungguh menakjubkan melihat ekspresi wajahnya. Semua terjadi
seperti dalam gerakan slow motion. Andai aku punya handycam, pasti aku
kan merekam semua kejadian barusan. Penisnya berkedut dengan hebatnya.
Berkedut sambil memuntahkan semua cairan spermanya.
“tiiiiiiiiitt……..
tiiiiiiiiitt…….. tiiiiiiiiitt…….. tiiiiiiiiitt……..” kami berdua
dikejutkan oleh suara SMS dari HP milikku. Suara yang walau lirih, tapi
terdengar begitu lantangnya. Memecah kesunyian yang terjadi selama
beberapa menit ini. Mas Manto terlihat begitu panik, dia bingung,
celingukan, mengkira-kira, kapan aku bakal menampakkan diriku dari dalam
rumah. Dia juga bingung dengan benda yang sekarang masih ada di kedua
telapak tangannya. Cd putih yang ia gunakan tuk menampung tumpahan
sperma dan cd hijau yang ia gunakan tuk membungkus batang penisnya,
semua basah karena sperma. Dibuang sayang, di letakkan di bak cucian pun
khawatir aku akan curiga. Karena kehabisan akal, mas Manto akhirnya
melepas handuk kecil yang melilit pinggang dan meletakkannya di pundak.
Astaga, sekarang aku dapat melihat keseluruhan tubuh telanjang beserta
penis raksasa mas Manto yang masih menggelatung lemas setelah
dikocoknya habis-habisan. Penis itu telihat seperti buah terong,
panjang, besar, berwarna hitam kemerahan dengan ujung kepala yang
menggelembung. Dan anehnya lagi, penis itupun masih berkedut dan
mengeluarkan sperma.
“Ga ada habisnya tuh peju” pikirku kagum.
Dengan
cepat, mas Manto langsung mengenakan cd putihku yang penuh dengan
spermanya. Cd tersebut dipaksa untuk dapat masuk, karena mas Manto tak
dapat menemukan lokasi tuk menyembunyikan cd tersebut. Janggal sekali
aku melihatnya mengenakan cd wanita. Ujung kepala penisnya tak dapat
sepenuhnya tertampung. Masih menjulang keatas, melawati karet kolor
cdku. Sampai-sampai ia harus bersusah payah tuk menekuk batang penisnya
ke bawah, kearah pantat, supaya tak terlihat lagi. Biji testisnya pun
terlihat tak nyaman, menggelambir keluar dari masing-masing celah
celana dalamku. Dan cd hijau, yang juga terciprat spermanya, ia
sembunyikan di dalam tumpukan baju kotorku. Setelah itu, ia segera
melilitkan kembali handuk kecilnya, dan bertingkah seperti tak ada
apa-apa..
“Mbak Liani…” panggilnya. “Mbak…Ini bak cucinya…”
“Eeh iya… sebentar mas….” Jawabku. Aku mencoba mengatur nafas, menyembunyikan deru nafsuku yang juga masih menggebu-gebu ini..
“Maaf mas… tadi mas Andri telpon, jadi mas Manto langsung saya tinggal deh…”
“Oh
gapapa mbak…ini baju kotornya sudah saya pindahkan ke bak cuci saya…
jadi mbak Liani tinggal meneruskan saja…” mas Manto berkata sambil
mengurut-urut telapak tangannya di depan selangkangan, mencoba menutupi
gundukan penis yang aku kira mulai menggeliat lagi.
“I….iya…ma kasih mas… jadi ngerepotin nie ceritanya….” Kataku.
“Ah..
gapapa kali mbak…. Lagian aku kasian kalau melihat cewek secantik mbak
Liani harus bercapek-capek sendirian gini….” Katanya tersenyum
meringis.
“Wah… sepertinya dia mulai merayuku” batinku. Aku hanya bisa tersenyum-senyum mendengar kalimat mas Manto.
“Hhmmm… anu mas… kalau boleh… apa saya bisa….….”
“Boleh boleh…mo apa ya?” potongnya.
“Anu… apa bisa saya minta tolong buat …..sekalian penuhin bak cuci dengan…..?”
“Wah bisa banget mbak.. tenang aja… “potongnya lagi. “bahkan kalau mau… saya bisa bantu mbak liani nyuci”in bajunya…”
Dengan
sigap, mas Manto memindahkan air dari bak penampungan ke bak cucinya.
Dia terlihat sama sekali tak merasa terbebani dengan segala perintahku.
Dan tak lama, semua bak cucinya penuh dengan air bersih.
“Yup….semua
bak cuci sudah saya penuhi ….apa ada hal lain yang bisa saya
kerjakan??”. Matanya berbinar-binar penuh harap. Terlihat seperti anjing
yang haus akan perintah dari majikannya.
“Hmmmm… sepertinya itu saja deh mas….” Kataku sambil tersenyum.
“Mbak Liani tuh orangnya murah senyum ya? Jadi seneng saya mbantuinnya… jadi ga ada capek-capeknya dah…” candanya.
Langsung
saja aku duduk di bangku kecil yang ada disisi bak cuciku, mulai
mengucek dan membilas semua baju kotorku. Tapi begitu aku duduk di
bangku kecil itu, aku baru sadar. Aku tak mengenakan cd dan bra sama
sekali, dan di depanku, ada mas Manto, suami tetanggaku. Aku merasakan
hal yang sangat kurang nyaman. Bangku itu terasa begitu pendek, hanya 15
cm dari lantai. Jadi, mau tidak mau, aku harus duduk dalam posisi
jongkok. Paha, betis, lengan dan belahan dadaku terpampang jelas di
depan mata mas Manto. Dan yang paling parah, daster kecilku ini sama
sekali tak mampu untuk menutupi selangkanganku. Walau vaginaku bersih
dan aku bisa dengan santai berbugil ria di hadapan mas Andri, tapi tetap
saja, mas Manto adalah orang lain, orang yang baru aku kenal sekitar
30 menit yang lalu. Pasrah…hanya itu yang dapat kulakukan. Aku hanya
jongkok, merapatkan kedua lututku, dan menempelkan dada montokku kearah
paha. Berusaha sebisa mungkin tak memperlihatkan vagina dan belahan
dadaku sama sekali.
Melihat aku yang kebingungan mencari posisi
paling aman tuk menyembunyikan auratku, Mas Manto pun ikut sedikit
menjauh. Dia mengambil posisi di seberang halaman, dan duduk di bangku
kayu panjang, yang berjarak sekitar 2m dari tempatku duduk mencuci.
Bangku itu hanya setinggi lutut orang dewasa, yang jika mas Manto duduk
menghadapku, lutut dan pantatnya berada dalam posisi yang sejajar.
Sehingga membuatku dapat dengan leluasa menerawang kedalam handuk
kecilnya dan melihat perjuangan cd putih kecilku menyembunyikan penis
besar mas Manto.
“Jadi sama-sama tau aurat masing-masing lah…” pikirku gampang.
Mas
Manto ternyata orang yang mudah bergaul, ramah, dan suka memuji. Tak
heran, aku yang biasanya tertutup akan adanya orang baru, merasa begitu
nyaman dan bisa ngobrol lama dengannya. Apalagi dia bukan orang yang
mata keranjang. Karena walau aku berbaju begitu minim, mas Manto mampu
menahan keinginannya tuk menatap tubuhku lama-lama, hanya sekilas saja
ia melihat, lalu melengos ke arah lain, seolah-olah tak peduli sama
sekali. Situasi tegang diantara kamipun lama-lama mencair, karena mas
Manto tahu sekali bagaimana berbicara denganku. Sering becanda dan
pintar merayu orang. Diapun tak segan tuk tertawa terbahak-bahak ketika
aku bercerita lucu. Bahkan tak jarang selangkangannya dapat aku lihat
dengan jelas ketika dia tertawa. Ketika tertawa, kadang ia mengangkat
kaki dan memegang perut sehingga penis yang terbungkus cd putihku sering
terpampang dengan jelas. Sama sekali tak berusaha tuk menutupinya.
“Penis
hitam mas Manto berusaha menampakkan dirinya… penis itu bersembunyi di
dalam cd putihku… yesss…. aku bisa melihat penisnya lagi…. penis
besarnya…” hanya itu pikirku ketika melihatnya tertawa puas.
Kadang
aku berpikir, apakah mas Manto adalah seorang ekhibisionis. Seorang yang
memiliki penyakit psikologis, suka memamerkan penisnya kepada orang
lain.
“Iya… aku yakin dia adalah seorang ekshibisionis.. tapi,ah
masa bodoh… yang jelas mas Manto adalah teman yang enak diajak ngobrol….
toh aku sudah merasa begitu nyaman dengannya…” pikirku, berusaha untuk
tak memperdulikan kekurangannya.
Karena aku sangat yakin akan
tingkah mas Manto, yang terkadang dengan sengaja membuka lulutnya
lebar-lebar, seolah mempersilakan mataku tuk mengagumi batang penisnya
yang hitam, membuatku pelan-pelan, juga mulai membuka diri, melemaskan
semua pertahanan tubuhku. Semula aku yang hanya duduk jongkok, menutup
semua aurat, sekarang sudah mulai melebarkan lututku, sedikit
mengkangkang. Selain aku merasa capek dengan posisi jongkok yang rapat
itu, aku juga ingin mempernyaman posisi mencuciku. Mas Manto bersandar
di dinding pagar halaman belakang rumah kami, sambil menatap ramah
kearahku. Sesekali ia beranjak, memindahkan air dari bak penampungan,
dan menuangkannya ke bak cuci yang aku pinjam darinya. Ia tampak begitu
tenang, walau aku tau, saat ini penisnya dah mengeliat karena melihat
kemolekan tubuhku. Tapi wajah itu, begitu santai, seperti tak ada
kejadian apa-apa. Aku terhanyut oleh auranya. Iya. Aku hanyut olehnya.
Terbukti, walau tak beberapa lama kami bercakap-cakap, tapi aku sudah
merasa kalau mas Manto tuh seperti orang yang benar-benar dekat
denganku. Bahkan tak jarang kami mulai melontarkan ejekan dan gurauan
jorok.
“Mas Manto… jorok deh.. dah gede gitu masih ngompol…” kataku disela-sela percakapan seru kami..
“Ngompol…. Idih… nggak lah…?”
“Lalu …itu apa hayoo…? kok ada yang ngalir dari dalem handuknya? Ah pasti ngompol tuh?” godaku lagi..
“Ohh…
ini…?” mas Manto menunduk, mencari tau apa yang aku maksud, diusapnya
cairan yang merembet turun dari dalam handuknya, dia pun mencium, dan
merasakan cairan yang ada di tangannya. Dia melirik kearahku. Lalu
berkata “Cuih…ini mah sabun bekas aku mandi tadi….”
“Sabun?” tanyaku
heran. Sebenarnya aku tahu kalau yang mengalir turun dari dalam
pahanya tuh bukan sabun, melainkan spermanya sendiri yang tak
tertampung di cd putihku yang ia kenakan. “Hahahaha… bisa aja…”
Cucian
demi cucian telah selesai dibilas, sampai akhirnya aku temukan cd
hijauku. Cd yang bekas digunakan mas Manto untuk melilit batang
penisnya ketika ia onani. Onani brutal yang membayangkan dan menyebut
namaku. Cd hijau bergambar bunga-bungan dibagian vagina, yang berlumur
sperma mas Manto. Kuraih cd hijauku dan kurasakan lendir yang menempel
di permukaannya. Hangat, licin, dan bertekstur. Detak jantungku kembali
berdetak dengan cepat.
“Aku memegang peju mas Manto…” batinku. “Aku merasakan benih-benih yang dimuntahkan oleh penis mas Manto…”
Ingin
aku rasanya mendekatkan cd hijauku yang berlumuran sperma itu
kehidungku. Menghirup aroma anyir spermanya, menjulurkan lidahku,
menyentuh dan merasakan tekstrur sperma mas Manto. Mengecapnya, penis
mas Manto, oh, mas Manto.
“Mbak…? Kok diem aja ?…. Hayo ngelamunin apa…?” suara mas Manto membuyarkan lamunanku.
“Eh… anu… ini…” jawabku bingung, mencoba mengembalikan pikiranku dari imajinasi yang tak jelas.
“Waduh… itu bekas pejunya mas Andri ya mbak…?” celetuknya, langsung, to the point.
“Eh.. kenapa mas?…” Tanyaku, kaget.
“Iya…
itu pejunya mas Andri khan?…banyak juga ya mbak… pasti tadi pagi
habis……” jawabnya lagi. Memperjelas kalimat yang tadi ia tanyakan sambil
tertawa cengengesan.
Aku merasa mukaku seperti kepiting rebus,
merah padam, menahan malu. Sepertinya mas Manto mengetahui apa yang
terjadi antara aku dan suamiku tadi pagi. Sepertinya suara desahan kami
terlalu keras sehingga terdengar sampai rumahnya. Sepertinya itu alasan
kenapa tadi ketika onani, mas Manto memanggil-manggil namaku. Ia pasti
membayangkan bersetubuh denganku.
“Mas Andri pasti seorang yang sangat beruntung ya mbak… “ mas Manto beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan kearahku.
“Tiap malam bisa… hmmm anu………” ia tak meneruskan kalimatnya dan menantikan jawabanku.
“Anu apa???…..” tanyaku lagi.
“Anu…
itu tuh…” jawabnya sambil memajukan bibirnya, menunjuk kearah dada dan
selangkanganku… “…….pokoknya puas deh mas Andri sepertinya….punya
istri cantik dan bahenol kayak mbak Liani… Hahahahahaha…” kelakarnya.
“Idih
ngaco…” jawabku tersipu. Aku ambil air dengan gayung, lalu aku
lemparkan air itu ke badannya. “Dasar otak mesum….” Aku tertawa.
“Omong-omong, mas Manto tau cd putihku nggak?” pancingku.
“Cd putih…?” tanyanya sambil mengaruk rambut kepalanya yang tak gatal.
“Iya…
cd putih yang ada rendanya… kali aja mas tau… soalnya khan mas yang
mindahin semua baju kotor aku…” pancingku. Aku tatap wajahnya, mencari
tau, apa akan yang ia lakukan setelah mendengar pertanyaanku barusan.
Terlihat
ada sedikit keterkejutan yang tersirat di wajah mas Manto namun
langsung saja hilang, dan berganti lagi dengan raut wajah yang tenang.
“Hmmm… yang mana ya?” jawabnya pura-pura tidak tahu.
“Cd
putih yang ada renda-rendanya..” ulangku lagi. Kembali aku tatap
wajahnya, tapi kali ini aku alihkan tatapanku. Dari wajahnya yang tenang
ke arah selangkangannya yang melompong. Sebenarnya aku tahu bahwa cd
putihku tak hilang, melainkan dipakainya sebagai bahan onani. Dan
sekarang cd itu ia kenakan untuk menahan konaknya agar tak muncul dan
terlihat olehku.
“Waduh… saya kurang tahu tuh mbak… mungkin terselip
kali di tumpukan cucian tadi” jawabnya “Eh… tapi ntar klo saya temuin,
saya dapet apa?… bisa dapet isinya nggak?…”
“Idih ngawur aja deh….”
“Yaaa… kali aja bisa dapet…. Pasti masih kenceng deh…. ga memble kayak punya si Narti gitu ….” jawabnya enteng.
“Kenceng… mobil balap kali mas…?”
“Iya…lah
itu buktinya ada di cd mbak Liani…pejunya mas Andri bisa tumpah ruah
seperti itu…. berarti isi cd itu masih kenceng khan?… Klo Narti kayak
gitu, saya bisa punya banyak anak nih… hahahahaha”
Entah kenapa,
mendengar kelakar mas Manto, seharusnya aku marah, tapi yang aku
rasakan beda. Aku merasa malu tapi sekaligus bangga.
“Punya banyak anak?”
Aku
tatap cd hijau itu yang belepotan sperma mas Manto dalam-dalam. Andai
yang ia dikatakan itu benar, betapa bahagianya aku. Aku dan mas Andri
sebenarnya telah menikah selama 3 tahun, namun selama itu, kami masih
belum dikaruniai seorang anak. Suamiku bukannya mandul, melainkan ada
ganfguan pada testisnya, sehingga benih sperma yang dikeluarkan, banyak
yang tidak lengkap. Selain itu, volumenya juga tidak begitu banyak.
Konsultasi dan terapi kesehatan sudah kami lakukan, namun belum juga
membuahkan hasil. Aku sisihkan cd hijauku itu, tak aku campur dengan
cucianku yang sudah bersih. Mas Manto hanya tersenyum-senyum melihat
tingkah lakuku dalam memperlakukan cd hijau yang terkena spermanya. Dan
aku pun membalas senyumannya. Segera aku selesaikan cucianku, dan aku
jemur. Mas Manto pun tak mau tinggal diam. Dia ikut membantuku menjemur
semua baju-bajuku. Tak jarang kami saling pandang, dan tersenyum.
Bahkan terkadang tangan kamipun bersentuhan ketika mengambil baju yang
akan dijemur. Tiba-tiba aku merasa seperti kembali ke masa lalu. Masa
dimana aku dan mas Andri sedang kasmaran. Saling lirik, saling senyum
dan saling sentuh. Namun kali ini orang yang membuatku kasmaran
bukanlah mas Andri, melainkan mas Manto, tetangga baru kenal yang aku
rasa begitu nyaman jika dekat dengannya.
“Kamu cantik banget mbak….” Mas Manto merayuku. “Seksi..”
Aku hanya bisa tersenyum sambil tersipu malu. Pujiannya sungguh membuatku melayang ke awang-awang.
“Makasie ya mas.. buat pinjaman …..”
“Ah…
biasa aja mbak…” potongnya. “kalau mbak butuh yang lain… saya
misalnya… langsung saja ya mbak… ga usah sungkan-sungkan… hehehehehe…”
tambahnya lagi, tersenyum penuh harap.
Ketika tanganku hendak mengambil bak cuci mas Manto, dia langsung mencegahnya, memegang pundakku, dan meraih tanganku.
“Gak usah repot-repot mbak… biar saya saja yang membawa bak cucinya…”
Cukup
lama tanganku berada didalam genggaman tangannya. Dan selama itu pula
mas Manto memainkan jemari jangannya. Meraba, mengelus, dan meremasnya
dengan perlahan. Melihat aku yang hanya diam saja, mas Manto pun
mengangkat talapak tanganku dan dikecupnya perlahan.
Mukaku kembali memerah. Malu.
“Kalau butuh saya ya mbak…”
“Iya…. Iya….” Jawabku gugup. Aku langsung menarik tangan dan mengambil cd hijauku. “Ma… makasih banyak ya mas…”
Aku
langsung masuk ke dalam rumah, dan menutup pintu dapurku rapat-rapat,
meninggalkan mas Manto sendirian di halaman belakang rumahku. Detak
jantungku tak bisa diatur, nafasku berat, dan mukaku merah.
“Gila…
Sangat gila… Ini adalah awal mula sebuah perselingkuhan…” kataku dalam
hati. Aku tahu ini semua mulai berjalan kearah yang salah, namun jauh
didalam hatiku, aku menginginkan semua kesalahan ini.
Aku dekap cd
hijauku erat-erat, aku tatap dalam-dalam dan aku bayangkan semua
kejadian barusan. Aku merasa terangsang. Cairan vaginaku terasa seperti
mengucur keluar dengan derasnya. Aku kembali menatap keluar melalui
jendela dapurku, mencari tau apa yang sedang dilakukan oleh mas Manto
sekarang. Berharap dia masih ada di tempat semula.
“Dia masih ada…”
batinku. Mulutku semakin lebar mengembangkan senyum. Apalagi setelah
tahu yang ia lakukan sekarang. Jauh lebih nekat.
Mas Manto berada di
belakang pintu dapurku. Berdiri agak membungkuk. Handuk hijau lusuhnya
sudah tersampir di pundak kirinya. Cd putihku yang ia kenakan tadi,
sudah ia turunkan sampai sebatas paha, tangan kirinya kedepan, menopang
tubuhnya pada dinding pintu dapurku, dan tangan kanannya, menggenggam
erat batang penis miliknya yang sudah berwarna sangat merah. Dikocoknya
penis itu dengan cepat, sampai terdengar bunyi “tek tek tek”. Suara
kulit penis yang terenggang dan tertarik oleh tangan kekarnya.
“Mbak Liani….. ohhh…. Mbak Liani…..” erangnya tertahan.
Lututku kembali melemas. Aku langsung jatuh terduduk. Menyandarkan punggung dibawah jendela dapurku.
“Mas
Manto sedang beronani di balik pintu dapurku” batinku girang.”mas
Manto sedang mengocok penis besarnya di belakang pintuku”
Jantungku
terasa seperti mau loncat melalui mulutku. Aku sudah sangat terangsang.
Vaginaku gatal, berdenyut hebat, pengen sekali digaruk oleh kejantanan
mas Manto. Aku tatap lembar pintu dapur yang ada disamping kananku. Aku
tatap gagang pintu yang berada ditengahnya. Hanya sekali putar saja,
aku bisa membuka pintu itu dan mempersilakan mas Manto tuk masuk ke
rumahku. Aku sudah begitu terangsang, tanganku, entah sejak kapan juga
sudah mengobok-obok vagina dan klitorisku.
Aku benar-benar menginginkan mas Manto untuk masuk ke dalam rumahku, menciumku,
menjilat payudaraku,
menyodok vaginaku, dan menumpahkan seluruh spermanya yang kental
kedalam rahimku. Seumur hidup, tak pernah aku merasakan nafsu seperti
ini. Dengan lutut yang masih gemetar, aku memberanikan diriku tuk
berdiri. Aku coba mengintip, apa yang mas Manto lalukan sekarang. Dia
masih dalam posisi yang sama.*Mengocok batang penisnya kuat-kuat. Aku
bulatkan tekad, memberanikan diri tuk membuka pintu dapurku. Aku tak
peduli akan apa yang akan orang lain katakan jika mereka melihat kami
selingkuh. Aku tak peduli akan resiko yang akan aku peroleh jika
hubungan gelap yang akan aku mulai dengan mas Manto ini sampai diketahui
oleh suamiku. Ya. Hanya itu. Aku ingin kenikmatan dan kepuasan. Aku
ingin merasakan kenikmatan yang selalu gagal aku capai dengan mas Andri,
suamiku. Aku raih gagang pintu dapurku. aku tarik nafas dalam-dalam,
dan aku putar ke bawah.
“Arrrrrgggggghhhhh….Mbak… Liaaaaannnniiiiiiii….”
Aku
dikagetkan oleh suara erangan mas Manto. Enam semburan kencang
ditembakkan ke arah pintu dapurku. Mas Manto telah orgasme duluan, sama
seperti mas Andri, aku kembali ditinggalkan terangsang seorang diri.
Aku urungkan niatku. Gagang pintu itu tak sempat aku putar. Aku hanya
bisa menyesali ketidak beranianku.
“Mas Manto….” Aku hanya bisa
memanggil namanya lirih. aku merasa begitu kecewa dan mengutuk diriku
yang tak berani mengambil resiko.
Masih dari balik korden jendela
dapurku, aku lihat mas Manto berdiri tertegun. Menatap penis dan
cipratan sperma yang membasahi pintu dapurku. dada bidangnya naik
turun, dan nafasnya terengah-engah. Mukanya berwarna merah. Dengan
tangan yang masih mengurut-urut batang penisnya ia berusaha
mengeluarkan semua cairan dari dalam kantong zakarnya. Tak lama
kemudian, dengan kondisi masih tanpa mengenakan baju apapun, mas Manto
melangkah mundur, pergi meninggalkanku, lalu masuk ke dalam rumahnya.
Mendadak, tak terdengar suara sedikitpun. Sunyi.
“Pluk…pluk…pluk…”
Saking sunyinya, sampai telingaku mampu mendengar suara tetesan air
keran yang berada di halaman belakang rumahku.
“Blak… keblak.. keblak…” Suara kebatan baju basah milikku yang dihembus oleh semilir angin.
Sunyi….perlahan,
aku putar gagang pintu dapurku dan kugeser perlahan pintu dapurku
sampai terbuka semua. Aroma tajam sperma langsung menyengat hidungku.
Aroma dari kejantanan seseorang yang baru saja menjadi idolaku.
“Gila…Banyak sekali….” Pikirku.
Sperma itu membasahi pintu dapurku,
setinggi perut. Terdapat sekitar enam lokasi cipratan sperma yang masih
menempel dan merayap turun ke tanah. Rasa penasaran itu pun muncul
kembali. Aku julurkan tanganku, menyentuh sperma yang masih mengalir
turun itu. Aku usap-usap, dan aku masukkan beberapa jemari tanganku ke
dalam mulut.
“Inikah rasanya…?” bibirku mengecap perlahan.
Merasa
kurang puas merasakan sperma yang masih menempel itu, aku lalu jongkok.
Memposisikan diriku dhhadapan lokasi cipratan sperma mas Manto yang
masih menempel di pintu dapurku. Aku julurkan lidah, menutup kedua
mata, dan memajukan kepalaku. Kutempelkan lidahku ke pintu kayu yang
belepotan sprema itu.
“Asin…” kataku dalam hati.
Mendadak, aku
seperti merasa tak mengenali diriku lagi. Aku merasa tidak seperti
Liani yang sopan, berpendidikan, dan bermoral baik. Sekarang aku merasa
seperti pelacur yang haus akan kepuasan. Aku bersihkan semua cipratan
itu dengan tangan dan lidahku. Bahkan tak jarang, sperma yang belepotan
ditangan, aku colok-colokkan di vaginaku, membayangkan kalau tangan
kecil milikku itu adalah penis besar mas Manto. Aku tak peduli jika ada
tetangga yang melihat aktivitas gak wajarku. Yang jelas, saat ini, aku
begitu bernafsu untuk dapat menghabiskan semua sperma gurih yang
menempel di pintu dapurku.
“Dek… liat deh yang sudah mas bawain buat
kamu…” sambil tersenyum, suamiku mengangkat kantong kresek hitam yang
ia bawa. “Aku bawain kamu… sup dan sate kambing… buat bekal kita
menghabiskan malam minggu ini bersama… hehehehe… “
“Aduh… kamu emang yang paling top deh mas…”
Setelah
menyantap makan malam, tak lama kemudian aku dan mas Andri pun memulai
apa yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Ya, kami bersetubuh. Aneh.
Dalam persetubuhan kali ini, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda
muncul dari dalam diriku. Aku lebih bisa mengekspresikan diriku, lebih
bebas, dan lebih agresif. Tak ada lagi rasa nyeri seperti yang tadi
pagi aku rasakan ketika mas Andri menusukkan batang penisnya
kevaginaku. Semua terasa begitu nikmat. Malah, sekarang aku tak malu
lagi untuk melenguh, mendesis dan berteriak lebih lantang. Jauh lebih
lantang daripada biasanya. Dan yang paling aku rasa aneh adalah, aku
mampu dua kali orgasme. Sekali ketika disodok dari belakang oleh mas
Andri, di samping meja makan. Mirip seperti posisi tadi pagi. Dan sekali
ketika aku dalam posisi telentang, diatas kasur tidur kami yang luas.
Aku tak tau, perubahan dalam diriku ini dikarenakan sop dan sate
kambing atau karena hal lain. Hal lain…
“Malam ini kamu benar-benar
beda dek…. lebih beringas… mas suka itu… hahahaha…” kata suamiku sambil
mengacak-acak poni rambutku.“Apaan sie mas… adek mah biasa aja kok….
Mas aja kali yang yang dah nggak sabar pengen ngewe sama adek….”
“Bener
dek… kamu beda… tatapan mata kamu… senyum kamu…dan yang paling beda…
memek kamu… lebih peret…” pujinya.“Aah mas bisa aja…” “Aku sayang kamu
dek…” tangannya yang besar menelungkup diatas tubuhku, menyelimutiku
dengan rasa sayangnya.“Adek juga sayang kamu, mas…………” Masih dalam
keadaan telanjang bulat, kamipun akhirnya tertidur.
Minggu pagi datang begitu cepat.
“Met
pagi ratu manjaku…” kecupan hangat dan basah mendarat di putting
kananku. Segera saja aku buka mataku dan membalas salam pagi suamiku.
“Dasar tikus hutanku…..” tawaku renyah.
Seharian
itu kami merasa seperti penganten baru. Bersetubuh, bersetubuh, dan
bersetubuh. Seolah-olah kami mendapat kekuatan baru yang membuat badan
kami selalu fit. Pintu dan jendela rumah sama sekali tak kami buka,
karena kami bersetubuh di seluruh area rumah. Memasak, mencuci dan
segala aktifitas rumah tangga pun, kami lakukan seperti kaum nudis.
Tanpa menganakan baju sama sekali. Semua terasa seperti mimpi.
“Masku
sayang… ayo ah… bangun…. “ kataku sambil memukul-mukulkan batang penis
lemasnya yang sudah bersih keperut buncit suamiku. “ dah bersih nih
dedenya….”
Mas Andri yang masih dalam kondisi telanjang bulat, tetap
saja berdiam diri, telentang di atas kasur dan membuka tangannya
lebar-lebar. Dadanya naek turun dan nafasnya masih terengah-engah. Dia
memutar kepalanya kebawah, menatap aku yang masih menungging setia di
atas pahanya. “Aduuuh… mas masih capek nih dek…. 10 menit lagi ya…”
jawabnya.
Gemas karena mendengar jawaban malas, aku gigit batang penisnya pelan.
“Iya…iya…iya… ampun…. Mas bangun…. Ampun dek…”
“Hahahahaha… nah gitu donk…ini udah siang… ayo berangkat kerja… katanya ntar ada meeting…?”
“Astaga… kamu bener…”
Tergopoh-gopoh
mas Andri bangun dan berlari ke kamar mandi. Tak menutup pintu kamar
mandi, mas Andri langsung mengguyur kepalanya.
“Sayang tolong
siapkan semua perlatan kantorku ya… mas dah telat nih…” Sambil keramas,
dia menginstruksikan padaku barang apa saja yang mau dibawanya meeting.
“Syukurin…
biar aja telat…makanya jadi tikus hutan tuh liat-liat waktu donk… sini
kalo masih mau nambah… adek siap melayani… hahahaha” kataku sambil
berdiri di depan pintu kamar mandi, meliuk-liukkan tubuhku bak penari
erotis.” Come”on… come to mama…” ejekku lagi…
“awas kamu ya… “ kata mas Andri sambil melempar air dengan gayung…
“Dek,
mas berangkat dulu ya… harus buru-buru nih… ntar malem kayaknya mas
pulang agak telat deh… jadi kamu jaga diri baik-baik ya…” nasehatnya
sambil mengecup keningku.
“Iye…iye….dasar baweeeeel… sana gih buruan berangkat” kataku pada suamiku tercinta.
Dengan
gemas. Mas Andri melakukan salam perpisahan khas kami. Meremas kedua
belah dadaku, memelukku dari depan dan menepuk keras-keras kedua
bongkahan pantat semokku. Ia lalu beranjak pergi sambil melambaikan
tangan.
Kembali, aku seorang diri lagi rumah kontrakan baruku ini.
Menjadi ibu rumah tangga. Menyapu, mengepel, mencuci piring dan mencuci
baju. Tiba-tiba aku teringat akan kejadian kemarin lusa. Kejadian gila
yang membuatku berubah menjadi Liani yang baru. Liani yang nakal, binal
dan tak kenal malu ini. Kejadian awal perselingkuhanku dengan tetangga
samping rumahku. Mas Manto. Kakiku melangkah ringan menuju belakang
rumah, lalu kuputar gagang pintu dapurku. kubuka lebar-lebar pintu itu
dan mengamati keadaan di sekelilingku. Masih tetap sepi seperti kemaren
lusa. Hanya saja, aku tak melihat cucian mas Manto yang dijemur. Hari
ini, hanya ada beberapa helai cucian kotor yang teronggok basah di bak
cuciku. Tapi entah kenapa, aku sepertinya ingin segera mencuci lagi.
Dengan hanya mengenakan daster pendek tanpa daleman sama sekali,
kembali, aku menyeret bak cuciku kearah halaman belakang rumah
kontrakanku.
“Cburrr…..cbuuurrrr……” aku mendengar suara air dan gayung.
“Wah … mas Manto sedang mandi nie…” pikirku.
Vaginaku
yang masih basah karena baru saja disodok-sodok mas Andri tadi, mulai
kembali berdenyut. Cairannya mulai membanjir turun kearah pahaku.
Putting dadaku juga mulai mencuat, menampakkan keberadaannya dibalik
daster tipisku. Dadaku berdebar-debar dengan hebatnya dan lututku pun
mulai melemas.
“Tok… tok… tok…” aku ketuk pintu dapur mas Manto yang tertutup rapat.
Suara deburan air itupun sejenak terhenti. Mas Manto menutup keran airnya, dan berteriak lantang. “Yaaa… sebentar…. Syapa ya…?”
“Sa… saya mas… “ kataku putus-putus menahan nafsu yang sudah memuncak “Liani…”
Aku
mendengar mas Manto membuka pintu kamar mandinya, berjalan kearah
pintu dapur dan membukanya perlahan. “Yaa…? Ada apa ya mbak….?” Katanya
tenang.
Pria idamanku sekarang berada di depan mataku. Pria yang
selalu aku bayangkan ketika bersetubuh dengan mas Andri, suamiku,
sekarang benar-benar ada didepanku. Dia terlihat begiru segar, sama
persis seperti saat aku meminjam bak cucinya sabtu kemaren. Badan dan
rambut yang masih sama, basah terkena air mandi, namun kali ini agak
berbeda. Aku tak lagi melihat handuk lusuh berwarna hijau yang terikat
di pinggang rampingnya. Saat ini, mas Manto dengan sangat percaya diri,
berdiri dalam kondisi tanpa mengenakan penutup aurat sama sekali.
Telanjang bulat, memamerkan batang penisnya yang menjulang tinggi
melewati pusarnya. Cairan vaginaku sudah tak tertahankan lagi. Meleleh
turun, membasahi paha dan betisku. Aku benar-benar terangsang.
“Mas Manto… bisa pinjem …..” tanyaku lirih sambil menyunggingkan senyum selebar mungkin.
“Bisa…”
potongnya sambil memamerkan senyum paling indah sedunia. Senyum tenang
yang selalu menghanyutkan diriku. Diraihnya pergelangan tanganku,
dikecupnya pelan, dan diletakkannya telapak tanganku tepat di kepala
penisnya yang sudah berdenyut hebat.
“Yuk…mbak… “
Aku terima ajakan mas Manto, melangkah masuk ke dalam rumah kontrakannya, dan menutup pintu dapur di belakangku rapat-rapat.